BANTENEKSPRES.CO.ID, OPINI, – Di tengah maraknya ketimpangan sosial dan terpinggirkannya suara-suara dari kelompok lemah, kita perlu menengok kembali pemikiran tokoh-tokoh sosial yang berpijak pada realitas Indonesia. Salah satunya adalah Mansur Faqih, seorang pemikir kritis yang berupaya menjembatani antara nilai-nilai keislaman dan praksis sosial emansipatoris. Dalam kajian Teori Sosial Indonesia, kontribusinya tak hanya penting—namun mendesak untuk diangkat kembali.
Mansur Faqih menolak teori sosial yang hanya bergema di ruang akademik tanpa menyentuh kehidupan nyata masyarakat. Baginya, ilmu harus hadir sebagai alat pembebasan, bukan sekadar alat tafsir. Ia menawarkan pendekatan transformatif yang berakar dari pengalaman masyarakat marginal, sembari tetap mengedepankan prinsip-prinsip keadilan sosial dalam Islam. Pendekatan ini sejalan dengan critical pedagogy ala Paulo Freire, namun dengan sentuhan lokal dan spiritualitas khas Indonesia.
Dalam bukunya Pendidikan Kritis: Konsep, Landasan, dan Implementasinya dalam Konteks Pendidikan Islam (2005), Faqih menulis: “Pendidikan tidak boleh memisahkan antara kesadaran kritis dan realitas sosial, karena keduanya saling membentuk dan saling meneguhkan.” Ini menegaskan keyakinannya bahwa pendidikan seharusnya membangkitkan kesadaran rakyat terhadap struktur ketidakadilan yang menindas mereka.
Faqih juga menekankan bahwa masyarakat bukan objek pembangunan, melainkan subjek perubahan. Oleh karena itu, teori sosial harus mampu membentuk “kesadaran pembebasan” yang menumbuhkan keberdayaan, bukan ketergantungan.
Sayangnya, pemikiran seperti ini masih kerap dikesampingkan dalam diskursus ilmu sosial arus utama di Indonesia, yang masih dominan mengacu pada teori-teori Barat. Padahal, konteks Indonesia membutuhkan pendekatan yang membumi dan berakar pada nilai lokal. Mansur Faqih menunjukkan bahwa kita tidak kekurangan pemikir visioner—yang kurang hanyalah keberanian untuk menjadikannya rujukan utama.
Sebagai mahasiswa yang mempelajari Teori Sosial Indonesia, saya merasa bahwa pemikiran Mansur Faqih benar-benar membuka perspektif baru. Menurut saya pribadi, pemikiran beliau ini jadi reminder banget buat mahasiswa seperti saya, bahwa belajar teori itu tidak hanya soal hafalan, tapi harus berdampak juga buat perubahan sosial nyata. Saya jadi lebih sadar bahwa ilmu itu seharusnya berpihak—terutama pada mereka yang suaranya sering kali diabaikan.
Sudah waktunya dunia akademik Indonesia lebih serius menggali dan mengembangkan teori sosial dari tanahnya sendiri. Pemikiran Mansur Faqih adalah warisan intelektual yang bukan hanya layak dikenang, tapi perlu terus diperjuangkan dan diperluas. Kalau bukan kita yang mulai menjadikannya rujukan, siapa lagi?.
Oleh: Nadia Agustina
Dosen Pengampu: Angga Rosidin, S.I.P., M.A.P.
Kaprodi: Zakaria Habib Al-Ra’zie, S.I.P., M.Sos.
Program Studi Administrasi Negara, Universitas Pamulang – Serang