Kota Tangsel Masuk Level Menengah Potensi Bencana Hidrometeorologi

Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Tangsel Essa Nugraha. Tri Budi/Bantenekspres.co.id 

SERPONG, BANTENEKSPRES.CO.ID – Potensi bencana di Provinsi Banten dan termasuk Kota Tangsel cukup besar. Mulai dari ancaman bencana Hidrometeorologi
karena curah hujan tinggi, bencana ekologi, banjir hingga ancaman bencana gempa megathrust.

Potensi-potemsi bencana tersebut harus diwaspadai agar bila sewaktu-waktu terjadi kita bisa mengantisipasi dan mengambil langkah-langkah yang tepat.

Bacaan Lainnya

Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Tangsel Essa Nugraha mengatakan, pada 5 Desember 2025 lalu pihaknya menerima surat edaran dari BNPB terkait adanya potensi bencana hidrometeorologi pada dasarian ketiga Desember di Provinsi Banten, khususnya Kota Tangsel.

“Dalam edaran ini, status Kota Tangsel berada pada level menengah untuk potensi bencana hidrometeorologi. Kategori menengah ini merujuk pada prakiraan curah hujan yang diprediksi berada di atas normal, yaitu berkisar 70–300 mm per dasarian,” ujarnya kepada BANTENEKSPRES.CO.ID, Kamis, 11 Desember 2025.

Essa menambahkan, kondisi tersebit sejalan dengan hasil kajian risiko bencana  BPBD di Kota Tangsel, di mana banjir dan longsor merupakan jenis bencana dengan risiko yang cukup tinggi, selain potensi gempa bumi.

Jika melihat fakta dan peristiwa bencana di Kota Tangsel dalam dua tahun terakhir, terdapat kejadian banjir dan longsor di Kota Tangsel dikisaran angka 268 kejadian selama 2025. Lalu 168 kejadian bencana di 2024. Artinya, tahun 2025 mengalami kenaikan signifikan dalam jumlah kejadian bencana di wilayah Kota Tangsel

“Tertinggi itu bencana banjir, angkanya sampai dengan akhir November kemarin sekitar 160 kejadian. Lalu disusul dengan angin kencang dan ini banyak sekali yang menimpa permukiman, menimpa kendaraan, dan disusul dengan Longsor.
Kalau longsor ini ada di Kecamatan Setu,” tambahnya.

Menurutnya, bila kejadian bencana banjir, BPBD Kota Tangsel mencatat ada 49 titik banjir, angin kencang ada 68 kejadian ditahun 2025. Sedangkan longsor ada dikisaran 30 titik. Jenis bencana yang mendominasi tetap sama, yaitu banjir sebagai yang tertinggi, disusul oleh angin kencang dan longsor.

Sejalan dengan pembahasan mengenai isu megathrust, hasil kajian risiko bencana yang dimiliki BPBD Kota Tangsel menunjukkan bahwa ancaman gempa bumi berada pada kategori risiko tinggi.

“Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah tingginya risiko ini disebabkan oleh adanya sesar aktif yang melintas di wilayah Kota Tangsel? Kalau dari berbagai informasi yang disampaikan beberapa instansi terkait, dapat dipastikan bahwa tidak terdapat sesar aktif yang melintas langsung di Kota Tangsel. Namun demikian, ketika terjadi gempa bumi di wilayah sekitar Tangsel, baik di Bogor, Lebak, maupun daerah lain di sekitarnya, Kota Tangsel sering kali turut merasakan dampaknya,” jelasnya.

Menurutnya, satu hal yang perlu ditegaskan adalah bahwa meskipun Kota Tangsel tidak dilintasi sesar aktif, tingkat risikonya terhadap gempa bumi tetap tinggi. Hal tersebut lantaran bila kita melihat pola pemanfaatan ruang di Kota Tangsel, hampir 70 persen wilayahnya didominasi oleh permukiman dan perumahan.

Selain itu, terdapat banyak bangunan dengan ketinggian lebih dari tiga lantai mulai dari perkantoran, pusat perdagangan, hotel, hingga apartemen. “Inilah yang menjadi salah satu indikator bahwa risiko bencana gempa bumi di Tangsel cukup tinggi, karena struktur bangunannya sangat padat dan bertingkat,” tuturnya.

Essa mengaku, kondisi ini terlihat merata di banyak titik, termasuk kawasan BSD yang kini memiliki bangunan-bangunan tinggi, bahkan hingga 20 lantai. Dengan kepadatan dan ketinggian bangunan seperti ini, wilayah Kota Tangsel tentu akan terdampak lebih besar jika terjadi guncangan gempa, terlebih jika skenario megathrust benar-benar terjadi.

“Karena itu, saya sangat sepakat bahwa aspek kelaikan bangunan, penerapan sistem peringatan dini, serta standar konstruksi tahan gempa harus menjadi perhatian penting. Bagi bangunan yang belum terbangun, perlu diarahkan agar menerapkan prinsip-prinsip bangunan tahan gempa, sebagaimana sudah lama diterapkan di negara-negara seperti Jepang. Inilah langkah-langkah antisipatif yang perlu terus diperkuat untuk mengurangi risiko gempa bumi di Kota Tangsel,” ungkapnya.

Untuk mengantisipasi apabila potensi bencana tersebut benar-benar terjadi, BPBD Kota Tangsel telah menyiapkab langkah-langkah yang sejalan dengan paradigma penanggulangan bencana Indonesia saat ini, yaitu mengedepankan pendekatan preventif.

Artinya, kesiapsiagaan harus lebih diutamakan dibandingkan hanya melakukan penanganan ketika bencana sudah terjadi. BPBD telah menyiapkan sejumlah program preventif. Yang pertama adalah program edukasi kebencanaan kepada masyarakat.

“Setelah edukasi, kami juga secara masif melakukan sosialisasi terkait kesiapsiagaan. Selanjutnya, BPBD membentuk komunitas siaga bencana, termasuk mengembangkan kelurahan tangguh bencana sebagai garda terdepan di tingkat masyarakat,” tuturnya.

Khusus untuk menghadapi potensi bencana hidrometeorologi di tahun 2025, terutama pada dasarian ketiga bulan Desember ini, BPBD telah mulai melakukan aktivasi posko siaga bencana. Saat ini terdapat tiga posko yang aktif. Yakni, posko utama berada di Kantor BPBD Kota Tangsel, kedua berada di Pondok Aren yang fisiknya sudah terbangun lengkap. Ketiga berada di Pamulang.

“Selanjutnya, kami sedang menyusun turunan dari edaran BNPB berupa edaran Wali Kota Tangsel tentang peningkatan kesiapsiagaan menghadapi potensi bencana hidrometeorologi pada dasarian ketiga Desember ini,” tuturnya.

Essa mengaku, setelah posko-posko ini diaktifkan, pihaknya akan menempatkan personel dan peralatan di setiap lokasi posko. Selain itu, koordinasi lintas sektor akan dilakukan, baik dengan perangkat daerah terkait maupun dengan pihak di luar pemerintahan, seperti kepolisian, BMKG, serta relawan-relawan kebencanaan yang juga akan kita tempatkan di posko-posko tersebut.

Terkait edukasi kebencanaan, program tersebut diarahkan terutama kepada kelompok usia dini hingga remaja. Targetnya meliputi peserta didik mulai dari PAUD, SD, SMP, hingga SMA. Pada awalnya, edukasi dilakukan dengan mendatangi sekolah-sekolah. Namun setelah kantor BPBD yang baru berdiri, fungsi bangunan ini secara resmi juga ditetapkan sebagai Rumah Edukasi Kebencanaan.

“Di kantor BPBD juga memiliki berbagai gambar dan visual edukatif. Di kantor lain mungkin itu hanya sekadar hiasan, tetapi bagi kami itu merupakan sarana edukasi dan menjadi amal jariyah untuk masyarakat Kota Tangsel,” katanya.

“Gambar-gambar tersebut memuat informasi kebencanaan yang ditujukan terutama untuk anak-anak dan remaja.
Selain itu, kami juga menyiapkan sarana edukasi dalam bentuk diorama. Melalui diorama ini, siswa-siswa yang berkunjung akan mendapatkan pemahaman mengenai cara menghadapi berbagai jenis bencana, seperti gempa bumi, banjir, longsor, kekeringan, hingga kejadian kegagalan teknologi. Setelah melihat diorama, mereka juga kami ajak untuk mengikuti simulasi,” ungkapnya.

Di kantor BPBD Tangsel juga tersedia simulasi gempa, yaitu ruangan khusus yang dapat memberikan pengalaman langsung bagaimana merasakan guncangan gempa serta bagaimana meresponsnya dengan benar.

Ada juga simulasi banjir, yang bisa langsung dipraktikkan mengingat lokasi kantor BPBD Tangsem berada tidak jauh dari Kalu Jeletreng, sehingga medianya sangat mendukung.

“Kami juga memiliki satu ruangan khusus berbasis video imersif. Jika dulu menonton visual imersif harus menggunakan kacamata khusus, fasilitas ini kini sudah lebih modern. Ruangan imersif ini akan segera kami launching, sehingga anak-anak bisa mendapatkan pengalaman edukasi yang lebih nyata, mulai dari melihat diorama, menonton visual imersif, hingga mengikuti simulasi,” harapnya.

Ke depan, BPBD Tangsel juga menyiapkan konsep edukasi yang terinspirasi dari Museum Tsunami Aceh. Dengan segala keterbatasan, pihaknya berupaya memodifikasi konsep tersebut agar bisa diterapkan di Kota Tangsel, sehingga edukasi kebencanaan dapat tersedia secara lebih lengkap, interaktif, dan mudah dipahami oleh masyarakat.

Sementara itu, BPBD juga melakukan sosialisasi kepada unsur wilayah, baik di tingkat kelurahan maupun kecamatan. Materi yang disampaikan meliputi informasi mengenai potensi bencana yang ada di Kota Tangsel, serta peraturan-peraturan pemerintah, termasuk peraturan Wali Kota tentang penanggulangan bencana.

Dalam setiap sosialisasi, BPBD selalu menekankan bahwa penanggulangan bencana adalah tugas bersama. Bukan hanya tugas pemerintah dan bukan hanya tugas BPBD, tetapi tanggung jawab seluruh elemen masyarakat.

“Sosialisasi ini penting agar semua pihak memahami aturan dan menyadari bahwa kesiapsiagaan merupakan kepentingan bersama untuk meminimalkan risiko bencana di kota kita,” tuturnya.

Esse menjelaskan, ada beberapa alasan mendasar pembentukan komunitas selawan siaga bencana. Seeprti, karena keterbatasan Sumber Daya Manusia BPBD
Sejak BPBD terbentuk pada 2010 hingga sekarang, jumlah pegawai BPBDD berada dikisaran 78–80 orang, termasuk pejabat struktural. Dengan jumlah tersebut, jelas masih sangat kurang untuk menangani dinamika bencana di Kota Tangsel.

“Ada 49 titik rawan bencana banjir di Tangsel, sementara kantor BPBD berada di wilayah Serpong. Misal ada kejadian banjir terjadi di wilayah Pondok Aren, Ciputat, Ciputat Timur dan sekitarnya. Jarak dan kondisi geografis membuat respons cepat menjadi tantangan tersendiri. Kami memiliki standar layanan bahwa sejak laporan bencana masuk, petugas BPBD harus tiba di lokasi maksimal 20 menit. Namun dengan jumlah personel yang terbatas dan titik bencana yang tersebar luas, hal ini tidak mudah dicapai,” katanya.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, BPBD harus berinovasi. Salah satu inovasinya adalah membentuk Komunitas Siaga Bencana. Pembentukannya disesuaikan dengan lokasi-lokasi rawan bencana, khususnya di titik-titik banjir.

Komunitas tersebut beranggotakan warga yang tinggal langsung di wilayah rawan bencana, sehingga ketika terjadi kejadian darurat, mereka dapat memberikan laporan awal, melakukan pertolongan pertama, membantu evakuasi m dan berkoordinasi langsung dengan BPBD.

“Dengan demikian, respon bencana menjadi lebih cepat dan efisien, meskipun personel BPBD terbatas,” tutupnya. (*)

Pos terkait