DENPASAR,BANTENEKSPRES.CO.ID – Catatan Ketua Umum Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GN-PK), Dr. H. Adi Warman.
“Tidak ada tempat aman bagi koruptor. Kalau perlu akan saya kejar sampai ke kutub,” ujar Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto dalam berbagai pidato publik.
Ucapan Presiden itu pernah menggetarkan panggung-panggung pidato kenegaraan dan forum-forum publik. Pernyataan tersebut dianggap sebagai simbol kuat komitmen Presiden dalam memberantas korupsi tanpa kompromi. Ia memberikan harapan kepada masyarakat bahwa negara benar-benar hadir untuk melindungi uang rakyat dari perampokan yang sistematis dan berjemaah.
Namun, janji itu kini terasa kian menjauh. Ketika publik mendengar kebijakan pemberian amnesti atau abolisi kepada pelaku tindak pidana korupsi, rasa kecewa dan cemas pun menyeruak. Bukan semata karena kekuatan hukum presiden yang dibenarkan konstitusi, tetapi karena ketidaksesuaian sikap tersebut dengan semangat pemberantasan korupsi yang telah lama didengungkan.
Antara Wewenang dan Kepatutan
Pasal 14 UUD 1945 secara eksplisit menyebutkan bahwa Presiden dapat memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR, dan grasi serta rehabilitasi dengan pertimbangan Mahkamah Agung. Dalam sistem ketatanegaraan, ini merupakan hak prerogatif Presiden yang sah.
Namun, kewenangan konstitusional tidak serta merta bermakna kebenaran moral dan kepatutan etik. Presiden bukan hanya kepala pemerintahan, tetapi juga pemimpin moral bangsa. Dalam konteks itulah, pemberian pengampunan kepada pelaku korupsi menjadi berbahaya secara simbolik dan substansial, terutama bila dilakukan atas dasar pertimbangan politis, bukan kepentingan hukum dan keadilan yang sejati.
Korupsi: Kejahatan Berat dan Penghianatan Publik
Korupsi di Indonesia telah menyebabkan kerugian triliunan rupiah tiap tahun, memiskinkan masyarakat, merusak pelayanan publik, dan melanggengkan ketimpangan sosial. Dalam hukum internasional, korupsi masuk kategori extraordinary crime, kejahatan luar biasa yang memerlukan penanganan luar biasa.
Di Indonesia, semangat ini tertuang dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Juga ditegaskan dalam ratifikasi Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) melalui UU No. 7 Tahun 2006. Seluruh instrumen tersebut mengamanatkan kepada negara untuk tidak memberikan ruang kompromi terhadap pelaku korupsi, apalagi bentuk pengampunan negara.
Krisis Konsistensi Pemimpin
Jika Presiden di awal masa jabatannya menegaskan akan “mengejar koruptor sampai ke kutub”, maka publik tentu berharap akan adanya komitmen yang teguh hingga akhir masa jabatan, bukan pembelokan arah kebijakan yang melemahkan semangat anti-korupsi.
Pemberian abolisi atau amnesti kepada koruptor bisa dimaknai sebagai bentuk inkonsistensi politik dan penurunan standar etika pemerintahan. Hal ini juga dapat menjadi preseden buruk, di mana para pelaku korupsi tidak lagi merasa takut pada hukum, melainkan menunggu momentum politik untuk mendapatkan pengampunan.
Lebih jauh, langkah ini berpotensi merusak kredibilitas lembaga-lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian yang telah bersusah payah memproses kasus-kasus besar. Upaya panjang yang menguras energi, biaya, dan reputasi, dapat lenyap dalam sekejap oleh selembar surat Keputusan Presiden.
Ketika Publik Menilai
Sebagaimana ditegaskan oleh filsuf politik Niccolò Machiavelli, kekuasaan yang kehilangan kepercayaan rakyatnya sedang berjalan menuju keruntuhan. Rakyat saat ini sudah semakin cerdas menilai, dan setiap inkonsistensi pemimpin akan terekam dalam sejarah.
Lembaga-lembaga survei pun mencatat bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi telah menurun drastis dalam lima tahun terakhir, seiring dengan pelemahan KPK dan minimnya gebrakan hukum. Jika pemberian pengampunan terhadap koruptor benar-benar terjadi, maka titik nadir itu akan semakin dalam.
Politik Pengampunan atau Pemulihan Integritas?
Seyogianya, pengampunan negara seperti amnesti atau abolisi digunakan dalam situasi luar biasa dan berlandaskan kepentingan nasional yang besar – seperti rekonsiliasi pasca-konflik bersenjata, stabilisasi politik, atau penguatan persatuan bangsa dalam konteks bencana besar. Bukan untuk kepentingan individu atau kelompok elite yang telah menjarah uang negara.
Pemberian abolisi atau amnesti kepada koruptor tidak dapat dibenarkan, baik secara etik, hukum, maupun sosial. Sebaliknya, negara harus berani memperkuat sistem penghukuman, pemiskinan koruptor, serta edukasi anti-korupsi sejak dini.
Akhir Kata, Dr. H. Adi Warman, SH, MH, MBA juga sebagai Penasehat Khusus Presiden RI Bidang Politik dan Keamanan.
Pidato Presiden untuk mengejar koruptor hingga ke kutub adalah komitmen yang layak diapresiasi. Tetapi lebih penting lagi, komitmen itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan yang konsisten dan keberpihakan nyata kepada hukum dan keadilan.
Jangan biarkan kata-kata besar itu terhempas oleh sikap permisif terhadap kejahatan yang merusak sendi-sendi negara.
Rakyat tidak menuntut janji baru, mereka hanya menuntut agar janji lama ditepati. Karena sejarah tidak menilai apa yang dikatakan pemimpin, melainkan apa yang benar-benar ia lakukan. (*)