TANGERANG — Kota Tangerang adalah salah satu daerah yang menjadi pelopor dalam penerapan pendidikan (Sekolah) gratis pada jenjang Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama (SD-SMP) Negeri maupun Swasta.
Hebatnya, Kebijakan kepala daerah itu berjalan dengan hanya bertumpu pada kapasitas fiskal daerah atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Tangerang.
Realisasi sekolah gratis kala itu dimulai oleh pemerintahan Wali Kota Arief R Wismansyah dan Wakilnya Sachrudin jauh sebelum keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini. MK memutuskan agar pemerintah pusat dan daerah menggratiskan sekolah negeri dan swasta untuk jenjang SD hingga SMP. Putusan soal sekolah gratis itu dibacakan dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, 27 Mei 2025 lalu.
Kebijakan itu pun kini diteruskan oleh pemerintahan 2025-2030 Sachrudin dan Maryono Gampang Sekolah jadi janji Politik Sachrudin-Maryono pada program 3G itu.
Hingga saat ini ada sebanyak 146 sekolah yang terdiri dari 73 SD dan 73 SMP swasta diajak bekerja sama dalam program sekolah gratis di swasta.
Saat berbincang hangat dengan sejumlah awak media, yang bersilaturahmi ke kediamannya, Rabu (4/6/2025) siang WIB, Wali kota Tangerang dua periode kemarin, Arief R Wismansyah mengungkapkan, program pendidikan gratis bisa terlaksana tidak semata-mata hanya mengandalkan besarnya APBD, akan tetapi kuncinya justru dari political will dari pemerintah.
Arief pun mulai bercerita bahwa program sekolah gratis jenjang SD dan SMP masa kepemimpinannya dimulai dari adanya beasiswa ‘Tangerang Cerdas’ yang merupakan bantuan bagi masyarakat kurang mampu yang bersekolah di negeri. Kala itu pembebasan pembayaran SPP saja ternyata tidak cukup oleh siswa karena masih terbelit kebutuhan lainnya.
“Pak sekolahnya gratis, buat ongkosnya gimana? Buat seragamnya dan sebagainya? Maka lahirlah program Tangerang Cerdas itu,” katanya memulai cerita. Apalagi tambah Arief, bahwa undang-undang mengamanatkan bahwa alokasi anggaran pendidikan adalah minimal 20 persen.
“Atas amanat itu saya kan merasa punya tanggung jawab dan komitmen, maka pertanyaannya anggarannya buat apa, kan gitu. Terus akhirnya kita buat 1.000 ruang belajar, lalu ada juga juga BOS dan di daerah ada Bantuan Operasional Daerah (BOPDA) itu semangatnya saling melengkapi, kita kemudian kaji dari BOPDA itu adalah SPP gratis,” jelasnya.
Sayangnya ujar Arief, meski telah ada BOPDA rupanya pihak sekolah masih memungut bayaran baik untuk uang gedung, raport, ijazah dan lainnya. Maka akhirnya , bersama Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Jamaludin dirinya mulai melakukan hitung ulang.
“Kan kita (Pemkot Tangerang) mempunyai beban operasional sekolah negeri, tapi ternyata ada beberapa sekolah swasta yang biaya operasionalnya justru lebih murah ketimbang sekolah negeri, kan itu jadi tanda tanya. Maka kita hitung. Ternyata sekolah swasta itu ada yang biayanya di bawah Rp 100 ribu hingga jutaan, termasuk fasilitas sekolah seperti apa, proses belajar mengajarnya seperti apa, jadi kita inventarisir semuanya, lalu kita nilai kemampuan keuangan daerah kita seperti apa,” bebernya.
Dari hasil inventarisir itu, ternyata didapati bahwa daripada membangun sekolah negeri baru, mengajak kerja sama sekolah swasta justru lebih ringan biayanya.
Akhirnya untuk biaya Bantuan Operasional Pendidikan Daerah (BOPDA) nilai yang diberikan adalah Rp 900 ribu/siswa SD dan Rp 2 juta/siswa SMP. “Karena sudah kita hitung, saya tawarkan kita punya pagu satu anak Rp 900 ribu untuk SD per tahun dan siswa SMP Rp 2 juta per tahun. Siapa yang mau? Didata ternyata ada 73 SD dan 73 SMP Swasta yang mau bergabung,” ungkapnya.
Dari kerja sama itu, menurut Arief perlahan sekolah swasta mulai bisa melakukan pemeliharaan gedung dan operasional dan rehab. “Termasuk kita support peningkatan gurunya supaya kualitas guru swasta setara guru negeri, nah ini programnya PGRI. Makanya tidak ada beban,” ujarnya.
Ia mengatakan, Pemkot Tangerang sendiri pada tahun itu menganggarkan urusan pendidikan mencapai Rp 1,3 triliun dari APBD. Sementara kebutuhan untuk sekolah gratis SMP swasta memerlukan anggaran Rp 30 miliar, sedangkan untuk SD Rp 10 miliaran kurang lebih, sehingga totalnya hanya Rp 40 miliar.
“Rp 40 miliar itu bisa mengebiayain 146 sekolah swasta SD-SMP dari Rp 1,3 triliun yang dianggarkan untuk pendidikan, sisanya kan buat mengelola sekolah negeri. Artinya dari jumlah tersebut, sejatinya biaya untuk sekolah gratis tidak besar,” urainya.
Padahal untuk membangun sekolah negeri baru seperti SMP Negeri 34 Kota Tangerang, anggaran pengadaan tanah saja mencapai kurang lebih Rp 15 miliar, demikian juga membangun gedungnya butuh Rp 15 miliar juga kan. “Jadi totalnya Rp 30 miliar, padahal itu bisa menggratiskan 73 sekolah,” jelasnya.
Kendati demikian, Arief menegaskan kebijakan sekolah gratis boleh jadi akan menjadi beban buat daerah lain. Tapi jika berpijak dari apa yang sudah dijalankan Kota Tangerang, justru hal itu sebenarnya tidak terlalu membebani, selain tentu saja membantu Pemerintah Kota Tangerang untuk memberikan akses pendidikan yang layak bagi masyarakatnya.
“Sebab masyarakat yang mampu pasti larinya ke “swasta” (berbayar-red), jadi kalau ada yang ngomong kok masuk sekolah gratis gedungnya kayak gini, ya itu yang kita setarakan dengan sekolah negeri. Kalau merasa memang mampu, yang silakan cari sekolah swasta (berbayar). Termasuk kepada sekolah yang merasa tidak akan mampu beroperasi lewat sekolah gratis ya jangan ikut program ini,” terangnya.
Namun jika sekolah gratis ini dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) maka hal itu menurutnya akan menjadi semakin baik. “Kalau disokong APBN memang lebih baik,” ucapnya. Maka itu, Arief juga mendorong agar pemerintah pusat meregulasi dengan memberikan bantuan pada program sekolah gratis ini.
Selain itu, kepada pemerintah daerah, Arief juga memberikan masukan agar melakukan hitung ulang atas kemampuan keuangannya sehingga program sekolah gratis bisa diwujudkan.
“Boleh belajar dari Kota Tangerang, sebab kita juga waktu itu belajar dari Surabaya, Surabaya belajar dari Semarang, tapi kata Dinas Pendidikan Semarang mereka juga belajar dari Kota Tangerang, jadi kita semua saling belajar,” tuturnya.
Untuk itu, ia berharap agar daerah tidak menyikapi putusan MK ini secara reaktif. “Karena memang ada daerah yang bisa, tapi kalau pun memang nanti ada daerah yang terbebani, di situ peran pemerintah pusat bisa ikut hadir,” katanya.
Semuanya, kata Arief harus dihitung dengan cermat. “Tapi yang saya tangkap dari Putusan MK adalah kalau Indonesia mau maju pemerintah harus bekerja keras, memberikan akses yang sebesar-besarnya memberikan yang terbaik kepentingan rakyat, buktinya kita juga mampu kok menyelenggarakan pendidikan gratis,” tukasnya. (*)